Agama Orang – orang Jawa : Abangan dan Kritik

Minggu, 20 Juni 2010.

Tiga golongan itu terpisah dan perbedaannya nyata. tetapi akhir – akhir ini, sesudah tanah gaji amat dalem dihapus, perbedaan – perbedaan mulai hilang. Priyayi tidak lagi mriyayi (berpriyayi). Jika seorang priyayi tidak punya tanah gaji atau tidak ada orang di bawahnya, apa gunanya mriyayi? Demikianlah seterusnya apabila dia tidak punya pangkat dan kekayaan. Sama halnya dengan santri. Sekarang ini banyak orang sembahyang seperti santri. Perkawinan dan kematian dilaksanakan oleh KUA ( Kantor Urusan Agama). Jadi tidak ada lagi golongan khusus santri. Sama halnya dengan wong cilik. Jika dididik dengan baik, bahkan dia bisa punya ilmu agama lebih banyak daripada santri kolot. Jadi perbedaan – perbedaan dulu sudah hilang. Sekarang ini siapa – siapa bisa menjadi apa – apa saja. Yang penting adalah bagaimana seseorang bersikap, berpriyayi, bersantri atau berabangan[1].

Tulisan ini berangkat dari teori trikotomi Clifford Geertz yang menyebut bahwa terdapat 3 jenis agama di orang – orang jawa, yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan, yang mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang  melingkupi semuanya, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani; santri, yang mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang ( dan kepada elemne tertentu di kalangan tani juga ) ; dan priyayi, yang menekankan pada aspek – aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen birokratik[2]. Pendek kata, Clifford Geertz membagi ketiganya berdasar pada hal – hal yang paling ditonjolkan. Abangan merupakan sinkretisme namun lebih menitikberatkan pada ritual – ritual animisme dan dinamisme yang sangat kental di kebudayaan jawa. Santri juga merupakan sebuah sinkretisme, namun kalangan santri lebih menonjol pada ritual – ritual islam yang puritas. Islam sebagai agama yang murni dan fundamental. Sedangkan Priyayi lebih menitikberatkan pada elemen – elemen Hindu pada ritual keagamaannya.Ritual – ritual Hindu dalam hal ini kesenian sangat erat dengan kehidupan priyayi. Dikarenakan cukup luasnya trikotomi ini, cakupan hanya akan dibatasi pada abangan sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan orang – orang jawa.
Golongan abangan diduduki oleh kelompok – kelompok petani desa yang masih konservatif dan sangat kolot dalam kebudayaan dan tata cara hidup mereka. Golongan jawa yang menerima islam hanya sebagai keyakinan, yang jarang sekali menjalankan ibadah menurut agama Islam dan masih berpegang teguh pada kepercayaan Buddha – Hindu dan kepercayaan asli[3]. Hal ini ditandai dengan ritual – ritual agama yang mereka jalankan. Dilihat dari sisi agama islam, mereka memang masih menggunakan apa yang terdapat dalam islam sebagai salah satu elemen ritual, namun intensitas keberadaan islam ini sangat kecil. Hal ini tercermin dalam slametan, kepercayaan terhadap roh halus, dan sistem pengobatan yang masih menekankan pada tradisi – tradisi animisme.  Intinya adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan uhkrowi antara alam, masyarakat dan alam adikodrati yang keramat, serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri ( secara kental dan kuat dalam lapisan masyarakat desa )[4]. Abangan lebih memiliki kedekatan yang erat dengan unifikasi antara agama, masyarakat dan alam daripada dengan Tuhan sebagai simbol tertinggi.

Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus
Terdapat 3 jenis pengkategorian makhluk halus oleh orang jawa ( walaupun pengkategorian ini tidak dapat dipahami sebagai sebuah hal yang konsisten dan sistematis, melainkan lebih berupa imajinasi seseorang karena masing – masing abangan memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami hal ini. Namun demikian, minimal pengkategorian ini dapat digunakan untuk memahami kepercayaan abangan terhadap roh – roh makhluk halus). 3 pengkategorian tersebut adalah memedi ( harfiah tukang menakut – nakuti ), lelembut ( makhluk halus ) dan tuyul[5].
Memedi merupakan makhluk halus yang hanya menakut – nakuti orang, tidak sampai mengganggu secara berlebihan. Memedi laki – laki disebut dengan genderuwo dan memedi perempuan disebut dengan wewe (juga disebut dengan wewe gombel). makhluk halus ini menakut – nakuti dengan cara berubah bentuk sesuai dengan yang dia kehendaki. Namun, beberapa abangan menyebutkan makhluk halus tipe ini juga cukup berbahaya, karena tidak hanya menakut – nakuti, mereka juga dapat membuat orang hilang. Biasanya muncul dengan bentuk kakek, kerabat, anak atau saudara kandung dan mengajak mereka untuk mengikutinya. Jika orang yang diajak ini menerima ajakan memedi tersebut, maka dia akan hilang dan akan sulit untuk ditemukan.
Kategori kedua adalah lelembut. Makhluk halus ini dikategorikan sebagai makhluk halus yang mampu menyebabkan orang kesurupan. Kesurupan, yang akar katanya berarti “masuk”,”memasuki sesuatu” tetapi juga mengandung arti kedua, yakni “waktu matahari terbenam”. Surup yang diidentifikasi sebagai masa matahari terbenam merupakan waktu dimana lelembut keluar dan beraktifitas ( pukul 12 siang dan tengah malam juga merupakan waktu yang krusial ). Pada masa surup inilah orang jawa khususnya abangan percaya bahwa tidak selayaknya keluar rumah (ora ilok). Untuk menanggulangi orang yang kesurupan, biasanya kerabat mereka mengundang orang pinter ( dalam hal ini yang dimaksud adalah dukun, tabib, kyai, dan lain sebagainya ) untuk melakukan ritual – ritual guna mengeluarkan si lelembut dari tubuh orang yang dirasuki.
Yang terakhir adalah tuyul. makhluk ini adalah hal lain karena kedatangan dan kemunculannya sangat diharapkan bagi orang – orang yang memang menginginkannya. Biasanya tuyul digunakan untuk pesugihan orang – orang yang menginginkan kekayaan dengan cara instan. Tuyul diperoleh dengan ritual – ritual yang harus dilakukan si pemilik dan si pemilik harus menyiapkan korban manusia sebagai tumbal dari kenikmatan dan kekayaan yang akan dia peroleh.
Dari ketiga kategori di atas, Clifford Geertz juga membagi kategori lain dari sistem kepercayaan terhadap makhluk halus yang dimiliki abangan jawa yaitu yang disebut dengan demit dan dayang. Demit diidentifikasi sebagai roh penunggu suatu tempat. Mereka merupakan penunggu dari candi, bangunan kosong, patung, pohon besar dan beberapa tempat keramat lain. Demit juga dipakai abangan untuk mencari pesugihan dan hal – hal mistis lain dengan mengadakan ritual – ritual khusus di tempat bersemayamnya. Sedangkan dayang diartikan hampir seperti demit. Dayang tinggal menetap pada suatu tempat yang disebut punden; seperti demit, mereka menerima persembahan slametan; seperti demit, mereka tidak menyakiti orang lain, melainkan hanya bermaksud melindungi; namun berbeda dengan demit, beberapa dayang dianggap sebagai roh tokoh – tokoh sejarah yang sudah meninggal : pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang membabat tanah[6].

Slametan :makna dan simbol
Slametan ( kadang – kadang juga disebut kenduren ) dilihat dari asal – usul kata berarti slamet ( selamat ), merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh orang – orang abangan di Jawa. Ritual ini merupakan semacam wadah bersama masyarakat, yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan, dengan suatu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik – atau setidak – tidaknya dianggap berbuat demikian[7]. Slametan diadakan untuk kejadian – kejadian tertentu yang harus diperingati, dikultuskan, dipahami sebagai kejadian “luar biasa” seperti kelahiran, kematian, khitanan, perkawinan, panen, ganti nama, pindah rumah, bangun rumah, sakit, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai representasi dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang sangat menekankan pada penghormatan roh – roh halus dan nenek moyang. Mengapa orang Jawa menyelenggarakan slametan? seorang tukang batu mengajukan dua alasan : “Bila anda mengadakan slametan, tak seorang pun merasa dirinya dibedakan dari orang lain dan dengan demikian mereka tidak mau terpisah. Lagipula, suatu slametan menjaga anda dari roh – roh halus, dan dengan begitu tidak akan mengganggu anda”[8]. Jadi makna tersirat dari ritual slametan itu sendiri merupakan sebuah upaya untuk mengintegrasikan individu – individu dengan kelompok ataupun individu lain di sekitar mereka. Slametan merupakan sebuah simbol penyatuan dan integrasi yang dimiliki masyarakat jawa, terlepas dari mitos dan takhayul yang terdapat di dalamnya. Dari arti katanya itu sendiri, slametan juga bisa dimaknai sebagai upaya untuk mencari slamet (selamat) untuk diri mereka, terutama dari gangguan makhluk halus.
Sebelum membahasnya lebih lanjut mengenai pola dalam slametan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai sistem petungan, sebuah sistem numerologi orang jawa. Petungan merupakan sistem untuk menentukan hari – hari kapan slametan akan dilakukan. Sistem ini juga dapat dilakukan untuk meramal hari baik seseorang, jodoh, pasangan, pindah rumah, menikah, dan lain – lain. Petungan dilakukan dengan cara menghitung dan mensinkronisasikan hari – hari dalam penanggalan jawa dan penanggalan barat dengan tujuan diadakan slametan tersebut. Orang abangan mengenal angka untuk menamai sebuah hari (neptu). Senen 4, Minggu 5, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9; Legi 5 Paing 9, Pon 7, Wage 4, Kliwon 8[9]. Tanggal – tanggal ini dijumlahkan kemudian dihubungkan dengan tujuan diadakan slametan sehingga memunculkan sebuah tanggal baru (hari baik) yang akan menentukan kapan slametan tersebut harus dilaksanakan. Tiap pola slametan memiliki syarat dan metode sendiri – sendiri sehingga dari satu pola dengan pola yang lain memiliki perbedaan syarat, ketentuan dan metode.
Slametan memiliki beberapa tahap dan diferensi tergantung pada tujuan diadakan selametan tersebut. Terdapat 4  diferensi yaitu, (10 yang berkisar sekitar krisis – krisis kehidupan – kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) yang ada hubungannya dengan hari – hari raya Islam – Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada sangkutannya dengan integrasi sosial desa, bersih desa (harfiah berarti pembersihan desa, yakni dari roh – roh jahat); (4) slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang – keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya[10]. Masing – masing memiliki makna dan simbol – simbol sendiri. Slametan untuk kelahiran memiliki makna dan simbol yang berbeda dengan slametan untuk khitanan, perkawinan, kematian ataupun slametan – slametan yang lain. Makna – makna ini terlihat pada kapan dan untuk apa slametan tersebut dilaksanakan. Pada kelahiran, tahapan – tahapan slametan dilakukan berawal pada slametan 7 bulan masa mengandung bayi (tingkeban), pada kelahiran si bayi (babaran), lima hari sesudah kelahiran (pasaran) dan tujuh bulan setelah kelahiran (pitonan). Simbolnya pun berbeda dengan pola slametan yang lain. Simbol yang dimaksud lebih kepada makanan yang dihidangkan. simbol – simbol tersebut juga memiliki makna sebagai berikut :
1.         Sepirng nasi untuk setiap tamu dengan nasi putih di atas dan nasi kuning di bawah. Nasi putih melambangkan kesucian dan nasi kuning melambangkan cinta.
2.         Nasi dicampur dengan kelapa parutan dan ayam irisan sebagai sebuah penghormatan terhadap nabi Muhammad SAW, dengan 2 buah pisang sebagai penghormatan terhadap Dewi Pertimah (harifah berarti Dewi Hindu Fatimah – yakni puteri Muhammad dengan gelar Hindu)
3.         Tujuh tumpeng kecil nasi putih melambangkan 7 hari masa kehamilan
4.         Delapan (kadang sembilan) bola nasi putih untuk melambangkan delapan (atau sembilan) Wali Sanga
5.         Sebuah tumpeng besar melambangkan anak yang dikandung agar kuat
6.         beberapa tanaman yang tumbuh di tanah ( orang jawa menyebutnya pala kependem ) melambangkan bumi dan beberapa buah yang tumbuh di atas sebagai lambang langit.
7.         Tiga jenis bubur : putih ( melambangkan “air” sang ibu ), merah ( melambangkan “air” sang ayah ) dan campuran dari keduanya ( bubur malapetaka, sangat ampuh untuk mengusir setan jenis apapun )
8.         Rujak legi, sebuah makanan dari berbagai campuran rempah – rempah, buah – buahan dan gula. Konon bila rujak itu terasa pedas oleh sang ibu, maka ia akan melahirkan bayi perempuan dan sebaliknya bila terasa biasa saja maka akan melahirkan bayi laki – laki[11].
Terdapat perbedaan walaupun tidak menonjol dari simbol – simbol ini pada masing – masing pola slametan. Perbedaan ini berdasar pada tujuan dan keinginan yang akan dicapai dalam ritual tersebut.

Kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz
Trikotomi Clifford Geertz menuai banyak kritikan salah satunya seperti yang disampaikan Profesor Harsja W. Bachtiar dalam tulisannya[12]. Beliau mengidentifikasi terdapat beberapa kritik terhadap trikotomi Clifford Geertz. Pertama mengenai pengertian tentang agama. Geertz sangat kabur membedakan agama dengan kepercayaan. Trikotomi ini juga tidak merepresentasikan seluruh agama orang jawa karena hanya daerah Mojokuto (nama samaran untuk kota Pare, Kediri) sebagai obyek penilitian. Selain itu, agama kristen dan katolik ( yang juga diimani oleh sebagian minoritas orang – orang jawa ) tidak dijelaskan pada tesisnya ini.
Kritik yang kedua mengenai dasar pembagian ketiga varian ini. Terdapat ketidaksamaan dasar pembagi untuk ketiga varian yang disampaikan oleh Geertz. Di satu sisi, abangan dan santri dikategorikan dengan dasar yang sama yaitu pola kesalehan dan keimanan mereka, namun di sisi lain, priyayi dikategorikan dengan pola yang lain. Kuntowijoyo pun sependapat dengan hal ini. Untuk priyayi, Geertz memberi monopoli terhadap kesenian klasik dan populer, hal yang tidak diberikannya kepada varian lain, abangan dan santri. Untuk abangan hanya disebutkan simbol – simbol berupa magis, mitologi, dan ritual, sedangkan untuk santri pembicaraan terutama berkisar pada soal organisasi sosial dari agama[13].
Kritik yang ketiga mengenai harus terdapatnya perbedaan mengenai adat dan agama. Dalam teorinya, Geertz agaknya kurang jeli untuk mendiskripsikan mengenai apa yang disebut dengan adat dan apa yang disebut dengan agama.
Selanjutnya kritik mengenai varian abangan. Geertz mengelompokkan abangan sebagai tradisi kelompok – kelompok tani dan kebudayaan wong cilik. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa tradisi dan ritual abangan sebenarnya juga dilakukan oleh santri dan priyayi, walaupun konteksnya berbeda. Selain itu, slametan yang diidentikkan dengan abangan sebenarnya juga dilakukan oleh santri dan priyayi. Santri melakukannya di masjid dan priyayi melakukannya di keraton.
Kritik lain juga disampaikan Mitsuo Nakamura dalam bukunya mengenai pergerakan Muhammadiyah di Kotagede[14] seperti yang telah disampaikan di atas. Beliau berpendapat bahwa trikotomi Clifford Geertz tidak relevan karena peletakan struktur masyarakat jawa, khususnya anggota Muhammadiyah sangat sulit karena batas – batas dari kategori – kategori ini semakin kabur.
Zaini Muchtarom dalam bukunya ”Santri dan Abangan di Jawa” juga sependapat dengan hal ini. Akan sangat sulit membatasi pengkotakan kepercayaan agama jawa berdasar pada kategori – kategori seperti itu.  Santri maupun abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat jawa, mulai dari wong cilik sampai ndara[15].

Daftar Pustaka
Darori Amin (ed.). Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media, 2002.

Geertz, Clifford. The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin. Jakarta : Pustaka Jaya, 1989.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.

Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises Over the Banyan Tree : A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, terj. Yusron Asrofie. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1983.

Zaini Muchtarom. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta : INIS, 1988.






[1] Pernyataan Mitsuo Nakamura dalam bukunya “ Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin : Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta “ sebagai sebuah tanggapan (lebih ke penolakan) terhadap tesis Clifford geertz mengenai trikotomi agama jawa.

[2] Clifford Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin (Jakarta : Pustaka Jaya, 1989), hlm.  8.
[3] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta : INIS, 1988), hlm.  7.

[4] Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm.  67.
[5] Clifford Geertz, op. cit., hlm. 19.
[6] ibid., hlm. 32.

[7] ibid., hlm. 13.
[8] ibid., hlm. 17.

[9] ibid., hlm. 40.
[10] ibid., hlm. 38.
[11] ibid., hlm. 51.

[12] Harsja W. Bachtiar. “The Religion of Java, a Commentary”, Majalah Ilmu – Ilmu Sastra Indonesia no. 1 Januari 1973, jilid V dalam Clifford Geertz, ibid., hlm. 521 – 551.

[13] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987) hlm. .51.

[14] Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan Tree : A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, terj. Yusron Asrofie (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1983) hlm. 157 – 158.

[15] Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa (Jakarta : INIS, 1988), hlm.  8.

3 Comentários:

Gustaf Wijaya mengatakan...

wah....komplet bangeeeeeetss... ;DD

historyisnotpast mengatakan...

opone seng komplet?

Unknown mengatakan...

Nah..ahkirna bisa kasih komment juga ^^

Posting Komentar

 
Meretas Kembali © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |